Politik Etis dan Kesehatan di Hindia Belanda
Politik etis adalah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda sejak tahun 1901. Kebijakan ini didasarkan pada tanggung jawab moral dan sosial Belanda terhadap rakyat pribumi yang telah banyak menderita akibat sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Salah satu tokoh yang memprakarsai politik etis adalah C. Th. van Deventer, yang menulis artikel berjudul “Een Eereschuld” (Sebuah Utang Budi) pada tahun 1899. Dalam artikelnya, ia mengungkapkan bahwa Belanda memiliki utang budi kepada rakyat Hindia Belanda sebesar 200 juta gulden, yang harus dibayarkan dengan cara meningkatkan kesejahteraan mereka.
Salah satu bidang yang menjadi fokus politik etis adalah kesehatan. Pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa kondisi kesehatan rakyat pribumi sangat memprihatinkan, terutama akibat penyakit endemik dan menular yang sering menimbulkan wabah. Beberapa penyakit yang menjadi ancaman bagi rakyat pribumi adalah malaria, disentri, kolera, cacar, lepra, dan tuberkulosis. Penyakit-penyakit ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kepadatan penduduk, kemiskinan, kurangnya sanitasi, gizi, dan akses pelayanan kesehatan.
Untuk mengatasi masalah kesehatan ini, pemerintah kolonial Belanda mengambil beberapa langkah, antara lain:
- Membangun fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, dan klinik di berbagai daerah. Fasilitas kesehatan ini tidak hanya ditujukan untuk orang Eropa, tetapi juga untuk rakyat pribumi, meskipun dengan tarif yang berbeda. Pada tahun 1918, terdapat 236 rumah sakit pemerintah, 28 rumah sakit swasta, dan 1.026 puskesmas di Hindia Belanda.
- Mengirimkan dokter-dokter, perawat-perawat, dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat pribumi. Dokter-dokter ini berasal dari Belanda maupun dari Hindia Belanda sendiri. Pada tahun 1918, terdapat 1.026 dokter pemerintah, 113 dokter swasta, dan 2.500 tenaga kesehatan lainnya di Hindia Belanda.
- Melakukan penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran dan kesehatan di Hindia Belanda. Beberapa lembaga yang didirikan untuk tujuan ini adalah Institut Pasteur di Bandung (1898), Institut Penyakit Tropis di Batavia (1924), dan Institut Eijkman di Batavia (1928). Lembaga-lembaga ini melakukan penelitian tentang penyakit-penyakit tropis, seperti malaria, beri-beri, kusta, dan lainnya.
- Melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit endemik dan menular dengan cara vaksinasi, isolasi, karantina, penyemprotan insektisida, pembagian obat-obatan, dan penyuluhan kesehatan. Beberapa program yang dilakukan dalam rangka ini adalah kampanye anti-malaria, anti-kolera, anti-cacar, anti-lepra, dan anti-tuberkulosis.
Dampak politik etis di bidang kesehatan terhadap rakyat pribumi dapat dikatakan positif dan negatif. Di satu sisi, politik etis berhasil meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan, menurunkan angka kematian dan kesakitan, serta memperpanjang harapan hidup rakyat pribumi. Di sisi lain, politik etis juga menimbulkan beberapa masalah, seperti diskriminasi, eksploitasi, dan dominasi Belanda dalam bidang kesehatan. Beberapa contoh masalah yang muncul adalah:
- Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada rakyat pribumi masih tidak sebaik dan sebanyak yang diberikan kepada orang Eropa. Rakyat pribumi harus membayar biaya yang lebih tinggi, mendapatkan fasilitas yang lebih buruk, dan menghadapi perlakuan yang lebih kasar dari tenaga kesehatan.
- Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada rakyat pribumi masih tidak sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan kepercayaan mereka. Rakyat pribumi masih lebih memilih pengobatan tradisional, seperti dukun, jamu, dan kerokan, daripada pengobatan modern yang dianggap asing dan menakutkan. Selain itu, rakyat pribumi juga sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan tenaga kesehatan yang berbeda bahasa dan budaya.
- Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada rakyat pribumi masih bertujuan untuk kepentingan Belanda, bukan untuk kesejahteraan rakyat pribumi itu sendiri. Rakyat pribumi dijadikan sebagai objek penelitian, percobaan, dan sumber tenaga kerja bagi Belanda. Pelayanan kesehatan juga digunakan sebagai alat untuk mengontrol dan mengawasi rakyat pribumi, serta untuk memperkuat legitimasi kolonialisme Belanda.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa politik etis di bidang kesehatan memiliki alasan politik, cara pelaksanaan, dan dampak yang beragam bagi rakyat pribumi di Hindia Belanda. Politik etis merupakan salah satu upaya Belanda untuk membalas budi kepada rakyat pribumi yang telah banyak memberikan kontribusi bagi Belanda. Namun, politik etis juga merupakan salah satu strategi Belanda untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan mereka di Hindia Belanda. Oleh karena itu, politik etis tidak dapat dipandang secara hitam putih, tetapi harus dipahami secara kritis dan komprehensif.
Komentar
Posting Komentar